Sabtu, 14 Agustus 2010

my inspirate....


Hati yang tak Pernah di Dengar
Oleh : Diah M. M

Aku duduk terdiam dalam sebuah kamar yang kecil, sendiri tanpa ada satu orang pun menemani. Air mataku pun meleleh kala ku mengingat semuanya, aku malu,aku malu pada diriku sendiri dan malu pada semua orang. Tak pernah terbayang dalam benakku memiliki keluarga seperti. Keluarga yang tak harmonis, percekcokkan yang seringkali terjadi di antara kedua kakakku membuatku harus mempunyai tekanan batin yang kerap menyiksa hari-hariku dan membuatku muak akan hidup ini sehingga ku ingin pergi meninggalkan semua yang ada. Namun rasa sayang kepada mereka membuatku tertahan untuk tetap dalam keadaan ini.
Tak pernah sebelumnya aku terpuruk seperti ini, aku merasa sudah tak ada gunanya hidup ini. Perselingkuhan ayahku yang terjadi enam tahun lalu, masih saja berimbas sampai sekarang. Aku masih heran akan kejadian itu, kenapa orang yang di tolong oleh ayahku malah membuat hancur keluargaku. Kini semua harapan yang indah seakan harcur seketika. Kadang keadaan ini membuatku menyesal, mengapa aku terlahir ke dunia kalau hanya untuk menerima cobaan yang begitu berat ini. Tapi semua sesal yang terjadi tak akan pernah merubah apa pun yang pernah terjadi di masa silam.
Kini aku hanya bisa menjalani kehidupan yang pahit ini dengan sebuah senyuman. Tak pernah ada satu orang di antara keluargaku yang mau mendengar keluh kesah yang ku alami selama ini. Aku masih tetap duduk diam tanpa ada satu patah kata pun terucap dari mulutku. Dari luar kamar terdengar teriakan-teriakan kakak perempuanku yang membentak-bentak ibuku, aku tak pernah mengerti apa sebenarnya yang di pikirkan orang-orang saat ini. Aku tersentak ketika tiba-tiba ibu masuk dalam kamarku dengan raut wajah pucat pasi dan air mata yang mengalir di kedua pipinya. Aku segera merangkulnya dan bertanya,
“ apa yang terjadi bu…?”
Ibu hanya diam dan semakin menangis. Aku pun bingung apa yang harus ku lakukan sehingga ibu bisa kembali tenang dan mau bercerita kepadaku. Aku pun menggosok-gosok pundak ibu sambil mencoba menenangkannya. Akhirnya tangisan ibu sedikit reda, ibu sudah mulai mengusap air matanya dengan baju yang dia kenakan. Aku pun kembali bertanya,
“ apa yang terjadi bu…?”
“ kakakmu… dia seperti orang tak pernah ibu didik. Kata-katanya sangat kasar. Ibu malu nak, ibu malu kepada calon suami kakakmu” jawab ibu dengan nada kecewa.
Aku kembali diam, tak tahu apa yang harus ku katakan pada ibu. Namun, belum sempat aku berkata pada ibu, ibu beranjak berdiri dan mengulas senyum padaku kemudian berlalu meninggalkan aku.
Aku kembali berbaring di atas tempat tidur sambil memandang langit-langit kamarku, semuanya terasa sepi dan senyap. Mengapa di rumah ini tak ada satu pun kebahagiaan? Tanyaku dalam hati. Tak pernah adakah secercah harapan untuk menjadi keluarga yang lebih baik dari sekarang, tak bisakah kita untuk memandang masa depan yang lebih cemerlang, tak bisakah memaafkan kesalahan yang pernah terjadi. Tuhan saja Maha Pemaaf kenapa hambanya tidak. Seribu pertanyaan yang membuat selalu ingin mengerti segala hal yang terjadi.
Aku segera sadar, kemudian beranjak bangun dari lamunanku. Membuka pintu dan menuju kamar mandi yang terletak agak jauh dari kamarku. Aku segera mengambil air wudhu, kemudian kembali untuk melaksanakan sholat ashar yang hampir mendekati maghrib.
“ nak, nanti habis sholat maghrib ayah mau bicara tentang kuliah kamu.” Kata ayah seketika menghentikan langkahku,
“ iya yah.” Singkat jawabku.
Setelah selesai sholat ashar adzan maghrib pun berkumandang, aku sangat bersyukur bisa menjalankan sholat ashar. Karena sudah dua hari aku kehilangan sholat ashar karena ketiduran. Setelah adzan maghrib selesai, aku segera menjalankan sholat maghrib kemudian mengaji.

☺☺☺☺☺

Terdengar ketukan dari luar kamarku,
“ siapa..?” teriakku dari dalam kamar,
“ kamu di timbali ayah dik…” suara kakak laki-lakiku,
“ iya kak, sebentar…”
Aku segera bergegas keluar kamar untuk memenuhi panggilan ayah. Suasana begitu sunyi. Tak ada yang berkata-kata. Ibu dan kakak perempuanku masih terlihat saling berdiam diri, duduk satu kursi untuk menyaksikan televisi. Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Aku pun sampai di ruang tamu yang lampunya menyala begitu terang hingga orang-orang di luar pun dapat mengetahui apa dan siapa pun yang melakukan kegiatan di ruang tamu. Aku duduk dan diam.
“nak, ayah ingin kamu kuliah mengambil jurusan akademi perawat,, tapi kalau dari diri kamu sendiri ingin ambil jurusan apa?” Tanya ayah padaku,
“ sebenarnya apa yang ku inginkan tak sama dengan apa yang ayah harapkan saat ini, aku ingin mengambil jurusan teknik sipil yah…” jawabku pada ayah,
Aku sadar harapan ayahku sangat jauh berbeda dengan harapanku, tapi itulah yang ada dalam hatiku.
“ mau jadi apa kamu ambil teknik sipil…? Kerja panas-panasan, ayah ingin kamu itu kerja dalam ruangan yang tidak panas, ayah ingin kerja kamu itu lebih baik dari kerjaan ayah.”
Aku tak dapat berkata apa-apa, karena ada dua kalimat yang mebuatku hanya bisa pasrah dengan keputusan ayah. Ridhollohi ridho waliddain.
“ mulai sekarang kamu persiapkan apa pun yang di butuhkan untuk keperluan mendaftar dan jangan lupa untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya.” Kata ayah yang kemudian berdiri meninggalkanku.
Aku menghela napas panjang, sebenarnya butiran-butiran bening itu ingin meleleh, tapi apa daya semua itu tertahan. Aku bergegas masuk dalam kamar. Aku menyalakan mp4 yang selalu setia menemaniku hingga larut malam. Ku putar lagu yang bisa membuat hatiku kembali tenang. Ku tekan play.
Semerbak harum wangi mawar
Menusuk dalam, dalam hatiku
Menghantarkanku ke tempat
Ku bisa rasakan kasih sayangmu
Kau ambil semua ragaku
Kau hantarkan aku dalam damai
Mimpi yang nyata dalam hiduku
Ku jalani semua yang ada si salam dirimu
Mungkinkah semua ini nyata
Yang ada…
Dalam dirimu dan diriku
Aku…
Tercipta kesendirianku
Hilang…
Dalam kebersamaanmu
Melayang…
Terbang tinggi dalam tenangmu
Ku putar berkali-kali pun aku tak pernah merasa bosan dengan lagu ini. Entah mengapa aku merasa lagu ini penuh makna dalam hidupku. Aku pun tertidur.

☺☺☺☺☺

Pagi ini tak secerah biasanya, langit terlihat begitu mendung tak bersahabat. Sepertinya sebentar lagi hujan akan mengguyur bumi. Hatiku pun tak sesenang biasanya, rasanya aku ingin pergi saja dari rumah ini. Pergi jauh entah kemana. Dulu aku juga pernah mencoba untuk kabur dari rumah tanpa sepengetahuan orang tuaku. Aku kabur bersama kakak perempuanku karena bosan, bosan dengan segala macam ocehan ibu yang kian hari kian tak enak di dengar telinga. Tapi saat ini permasalahannya beda. Tak ada satu orang pun yang mau mendengarkan curhatanku. Mereka sibuk memikirkan diri mereka sendiri, tak pernah ada yang peduli akan keadaanku. Ibu, tak bisakah dia meluangkan waktu sejenak untuk mendengarkan curahan hatiku? Dia hanya sibuk mencari uang. Katanya untuk kebutuhanku. Tapi saat ini aku tak butuh itu, aku hanya butuh sedikit waktu untukku. Ayah? Dia pun tak ada sedikit waktu pun untukku, dia juga sibuk mencari uang untuk biaya kuliahku.
Aku bingung. Aku ngerti kuliahku tak butuh uang yang sedikit, tapi apakah kebahagiaanku harus di korbankan juga?. Sebenarnya aku ingin hidup mandiri, membiayai kuliahku sendiri tanpa bantuan orang tuaku. Tapi mau bagaimana lagi aku tak punya banyak pilihan, padahal dalam kamus hidupku hidup itu adalah pilihan aku harus memilih yang terbaik bagi hidupku. Apa pun akan ku lakukan asalkan itu membuat keluargaku bahagia dan selama aku masih bisa untuk melakukannya.
Keadaan hidup yang seperti ini kadang membuatku bersikap acuh tak acuh pada setiap hal yang ada. Hal itu kadang juga membuatku cepat untuk berfikir pendek dan menyesatkan. Kadang aku ingin mati saja supaya batinku bisa tenanng atau jadi orang gila saja yang tidak perlu memikirkan semua yang ada. Tapi pemikiran seperti itu segera sirna karena tuntutan dari orang tuaku belum selesai. Setelah saat itu aku tak terlalu nmemikirkan keadaan keluargaku. Aku berfikir ini adalah hidupku, orang lain tak berhak mengaturnya.

☺☺☺☺☺

Malam terasa dingin, kedinginannya terasa menusuk ke dalam sumsum tulangku. Namun, tetap saja aku tak beranjak dari dudukku. Ku pandangi langit malam. Kerlipan bintang pun tak begitu terang karena tertutup awan. Suasana seperti ini mengingatkan aku pada mantan kekasihku. Tak terasa aku meneteskan meneteskan butiran lembut dari kedua mataku hanyut terbawa sepinya hati. Semua terasa begitu menyakitkan. Aku begitu mencintainya tapi dia malah pergi tak pernah memberi kabar padaku. Aku sangat merindukannya. Entah dimana dia sekarang, aku hanya ingin menyampaikan rasa rinduku padanya lewat angin malam dan bintang-bintang yang bersinar.
“ nduk, sudah malam ayo masuk” suara ibu memanggilku.
Aku segera tersadar dari lamunanku dan mengusap air mataku. Kemudian beranjak meninggalkan sepinya malam.
Aku masuk dalam kamar, duduk sendiri merenung dalam-dalam mengingat semua yang telah terjadi antara aku dan dia. Aku pun masih menyimpan pesan singkat yang dia kirim ke hpku,
“ q lgi banyak masalah,q pngen sndri,q harap kmu ngrti n smga kmu dpat pngganti yg lbih baik driq!”
Saat itu tubuhku lemas tak berdaya, ada yang hilang dalam jiwaku. Aku hanya diam. Tak ada satu kata pun yang dapat melukiskan semuanya. Tak kuasa hati ini menerima semua kenyataan yang ada. Segera tersadar dari lamunan, aku merebahkan tubuh di atas kasur yang tak begitu empuk. Namun tetap saja aku merasa nyaman dengan semuanya. Aku kembali tenggelam dalam lamunan. Mengapa waktu dua bulan tak cukup bagiku untuk melupakannya. Apa yang istimewa darinya? Mengapa seluruh memori otakku hanya ada tentangnya. Aku capek! Aku mulai memejamkan mata. Tapi mengapa lagi-lagi bayangan wajahnya kembali muncul. Akhirnya aku memutuskan untuk tidak tidur, kemudian aku mengambil mp4ku, lagi-lagi aku mendengarkan lagu nyawa yang berjudul dirimu dan diriku. Aku hanya membayangkan saat-saat indah bersamanya hingga akhirnya aku tertidur.

☺☺☺☺☺

Pagi ini seisi rumah terasa hening dan hampa. Seperti tak ada satu orang pun penghuni dalam rumah ini.
“ ayahmu tidak pulang semalam…” kata ibu padaku,
Aku hanya diam tak memberi komentar.
“ kemana ayahmu…?” ibu terus berkata padaku,
Aku tetap diam seribu bahasa, tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutku. Aku takut, apabila aku bnyak berkata dan menjawab pertanyaan ibu, ibu akan terus mengeluh padaku tentang semuanya. Ku tinggalkan ibu sendiri di dapur.
“ darimana saja ayah? Semalan tidak pulang, apa ayah sudah tidak saying lagi dengan keluarga ini? “ pertanyaan ibu bertubi-tubi saat ayah baru datang,
“ kalau ayah sudah tidak sayang lagi dengan keluarga dan aku, pergi saja dari rumah ini, ceraikan saja aku”
Aku dengar teriakan ibu, sesekali terdengar isak tangis ibu.
“ nak cepat ke sini..” teriak ayah padaku, aku segera berlari. Ku lihat ibu sudah jatuh tersungkur. Bukan karena ayah sengaja menjatuhkan ibu tapi badan ibu ku lihat begitu lemah tak bardaya.
“ panggilkan dokter…” suruh ayah padaku,
Aku segera berlari mengambil kunci sepeda dan pergi berlalu.
Setelah ibu selesai di bawa ke dokter, ibu ku suruh minum obat dan istirahat. Pikiranku terasa penat, ada banyak hal yang harus ku lalui. Masalah keluarga, masalah hati, masalah agama, masalah kuliah, semua serasa bertumpuk menjadi satu. Tak ada kah orang yang mau mendengar keluh kesahku. Haruskah aku selamanya hidup seperti ini. Aku capek. Aku capek dengan hidupku, aku capek dengan semuanya. Inginku pergi jauh dalam kedamaian. Maafkan aku ibu….


TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar